Selasa, 12 Juni 2012



 belajar bikincerita

judul : proses menuju bahagia
penulis : secreate admirer


Tak selamanya orang tua benar !


Nama Lucky wahyu pranata seorang lulusan  Sekolah Menengah Kejuruan(SMK) lulusan 16 mei 2011 yang masih pengangguran.
Uda hampir setahun lulus dari smk namun masih juga belom dapet kerjaan.
Orang tua pengen aku jadi Polisi namun aku ingin kuliah sastra berharap bisa jadi penulis sukses. Orang tua bilang menjadi seorang penulis tak mempunyai masa depan yang bagus.
Pemaksaan dan perenggutan hak seorang anak untuk memilih dan menentukan masa depan perlahan di ambil alih oleh orang tua.
Adu argument setiap hari terjadi tanpa harus tau kapan wasit akan meniup peluit tanda berakhir.
Serba disalahkan efek yang muncul,banyak yang bilang orang tua menyuruh anaknya demi kebaikan, ada yang bilang juga kalo anak boleh menentukan masa depannya sendiri. Banyak saran yang melintas di fikiran, bukan memberi titik terang malah membuat kepala menjadi pusing
Akhirnya saran yang lumayan masuk akal berhenti difikiran “uda turutin aja dulu,lumayan kan log beneran jadi polisi masa depan juga uda jelas, klo gagal ndak ngerugiin juga kan,yang penting uda nurutin apa kata orang tua, habis tu terserah lu mw ngapaen org tua pasti uda nyerain semuanya pada lu sendiri”
Saran yang akhirnya jadi keputusan final, segala macam persaratan awal untuk mengikuti tes kepolisian yang sudah mulai terlengkapi sampai saatnya 21 januari 2012 tahap seleksi awal dilansanakan.
Antrian panjang membosankan menguji kesabaran, nama Lucky wahyu pranata keluar untuk mengikuti tes awal,semula lancar pada tahap-tahap  tes sampai tes tinggi badan muncul membuat semua jadi berantakan, tinggi badan minimal 163cm yang membuat gagal karena aku hanya bertinggi badan 162,5cm hanya kurang setengah cm mimpi orang tuaku menjadi hilang bagai pasir pantai yang tertiup angin.
Aku tidak begitu bersedih atas kegagalanku ini karena kini harapan bagiku muncul untuk mencapai cita-cita sesuai keinginanku.

Saran yang tak sesuai harapan

Sekarang aku mulai melihat-lihat kampus mana yang akan aku masuki, berbagai kampus yang ada jurusan sastra sudah tercatat dalam daftar.
Universitas Negeri Malang, Universitas Kanjuruan Malang, sampai Universitas Jogja pun tak luput aku masukkan kedalam daftar. Pendaftaran Universitas sudah mulai dibuka, aku memberitahu niatku kepada Bapak, Namun jawaban yang terduga masuk menendang gendang telingaku “buat apa sih kuliah, ntar juga habis kuliah jari kerja lagi. Mending cari kerja sana buat pengalaman sambil nunggu pendaftaran polisi selanjutnya”. Jawaban yang tak pernah dan tak pernah terfikirkan  terdengar ditelinga. Kaget, bingung dan tak tau harus berkata apa lagi. Rasa kecewa, sedih, marah semua bercampur jadi satu. Tanpa berkata-kata lagi aku langsung pergi meninggalkan Bapak, Tak terasa air mataku mengalir melalui pipi, perasaan sangat emosional mendorong air mataku untuk keluar. Hari-hari yang kulalui setelah peristiwa itu tanpa ada rasa semangat, aku merasa tak punya kekuatan dalam hidup.
Berhari-hari aku hanya berdiam dan meratapi nasib yang aku terima saat ini. Saran yang dulu kuterima dan kujalani ternyata sangat berbeda dengan kenyataan yang terjadi. Aku menyalahkan diriku sendiri, mengapa aku dulu tidak bersikukuh untuk memperjuangkan hak ku. Kenapa aku harus menjalani sesuatu yang tak pernah aku ingini. Betapa bodohnya aku saat itu. Sekarang aku merasa sendiri melangkah didalam dunia fanaa, berjalan tanpa ada kawan, melangkah tanpa mempercayai seorangpun. Keadaanku semakin tak menentu, fisik tubuhku terlihat semakin kurus, penampilan yang takpernah aku pedulikan lagi. Melihat keadaanku yang semakin hari semakin menggenaskan akhirnya ibu datang datang dan memberiku sebuah cahaya petunjuk. “sudalah nak jangan begini terus, jangan kau fikirkan apa ucap bapakmu, bapakmu memang begitu tak mau mendengarkan apa kemauan anaknya. Sekarang kalau kamu ingin kuliah kerjalah carilah pekerjaan agar kau bisa kuliah, ibu selalu mendukungmu, ibu juga akan sedikit banyak membantumu”. Mendengar perkataan itu aku merasa hatiku dicambuk, tersayat, ternyata aku tidak sedang melangkah dalam kegersangan padang pasir aku hanya tersandung kerikil kecil saat aku berjalan menuju impian.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar